Pneumonia dan Diabetes Mellitus
Pneumonia dan Diabetes Mellitus
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru,
distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorus dan
alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran
gas setempat (Sudoyo, 2007). Cara terjadinya penularan berkaitan pula dengan
jenis kuman, misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan Streptococus
pneumoniae, melalui slang infus oleh Staphylococus aureus sedangkan infeksi
pada pemakaian ventilator oleh Pseudomonas aeruginosa. Pneumonia dapat disebabkan
oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa (Sudoyo,
2009). Proses infeksi dimana patogen tersebut masuk ke saluran nafas bagian
bawah setelah dapat melewati mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan
mekanik (epitel,cilia, dan mukosa), pertahanan humoral (antibodi dan komplemen)
dan seluler (leukosit, makrofag, limfosit dan sitokinin). Kemudian infeksi
menyebabkan peradangan membran paru (bagian dari sawar-udara alveoli) sehingga
cairan plasma dan sel darah merah dari kapiler masuk. Hal ini menyebabkan rasio
ventilasi perfusi menurun, saturasi oksigen menurun. Pneumonia secara khas
dikelompokkan menjadi dapatan komunitas (Community Acquired Pneumonia) dan
dapatan rumah sakit (Hospital Acquired Pneumonia). Pneumonia anaerob dan abses
paru dapat terjadi bersamaan dengan kedua tipe pneumonia dan memerlukan
perhatian tersendiri (Tierney dkk, 2002). Gejala khas penderita pneumonia
adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non produktif atau produktif
atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit dada
karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka
berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Adapun
komplikasi yang dapat terjadi apabila pneumonia tidak diterapi dengan tepat
sperti terjadinya efusi pleura, empisema, abses paru, pneumotoraks, gagal nafas
dan sepsis. Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada
hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan
LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur
darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak
diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium
lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Tujuan terapi pneumonia yaitu untuk
eradikasi pathogen, penyembuhan klinis, menurunkan morbiditas dan mencegah
terjadinya komplikasi. Untuk terapi farmakologinya dapat diberikan antibiotic
berdasarkan bakteri penyebabnya seperti PSSP (golongan penisilin, TMP-SMZ,
makrolida), PRSP (beta lactam, sefatoksin, seftriakson), pseudomonas aeruginosa
(aminoglikozid, siprofloksasin, levofloksasin), MRSA (vancomisin, linezolid),
H. Influenza (azitromisin), legionella (rifampisin), mycloplasma Pneumonia
(doksisiklin) dan chlamydia pneumonia (makrolid). Terapi non farmakologinya
yaitu dapat melakukan istirahat yang cukup, olahraga, mendapat nutrisi cukup, menghentikan
atau menghindari asap rokok (Luftiyya, 2006).
Antibiotik intravena dapat diganti ke peroral, apabila
setelah 24-48 jam kondisi klinis membaik, tidak ada gangguan fungsi pencernaan
(muntah, malabsorpsi, gangguan menelan, diare berat), kesadaran baik, tidak
demam (suhu > 36C dan < 38C), disertai tidak lebih dari satu kriteria
(Nadi > 90 kali/menit, pernapasan > 20 kali/menit atau PaCO2 < 32
mmHg, tekanan darah tidak stabil, leukosit < 4.000 sel/dl atau > 12.000
sel/dl atau tidak ada neutropeni (Kemenkes RI, 2011).
Kategori penilaian penggunaan antibiotika
secara kualitatif dengan metode gyssen (Gyssens, 2001)
Kategori
|
Keterangan
|
Kategori 0
|
penggunaan tepat / ketepatan
|
Kategori I
|
waktu pemberian/timing tidak tepat
|
Kategori II A
|
dosis pemberian antibiotik tidak tepat
|
Kategori II B
|
interval pemberian tidak tepat
|
Kategori II C
|
tidak tepat rute pemberian
|
Kategori III A
|
pemberian terlalu lama
|
Kategori III B
|
pemberian terlalu singkat
|
Kategori IV A
|
ada antibiotik lain yang lebih efektif
|
Kategori IV B
|
ada antibiotik lain yang lebih aman/ kurang toksik
|
Kategori IV C
|
ada antibiotik lain yang lebih lebih murah
|
Kategori IV D
|
ada antibiotik lain lebih spesifik dengan spektrum lebih sempit
|
Kategori V
|
penggunaan antibiotika tanpa ada indikasi
|
Kategori VI
|
rekam medis tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi
|
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit gangguan metabolic
menahun akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat
menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Penyebab terjadinya DM
berdasarkan tipenya yaitu DM tipe 1 (genetic, imunologi, lingkungan), DM tipe 2
belum diketahui penyebab terjadinya tetapi bisa disebabkan oleh faktor resiko
(usia, obesitas, riwayat keluarga), DM gestasional terjadi karena adanya
kelainan yang dipicu oleh kehamilan à sekresi hormone plasenta à hiperglikemia,
DM tipe lain (kelainan genetic, penyakit endokrin, infeksi). Patofisiologi DM
tipe 1 Pankreas tidak mampu mensintesis dan mensekresi insulin dalam kuantitas
dan atau kualitas yang cukup, bahkan kadang-kadang tidak ada sekresi insulin
sama sekali. Jadi pada kasus ini terdapat kekurangan insulin secara absolut. DM
tipe 2 adalah DM tidak tergantung insulin. Pada tipe ini, pada awalnya kelainan
terletak pada jaringan perifer (resistensi insulin) dan kemudian disusul dengan
disfungsi sel beta pankreas (defek sekresi insulin) (Tjokroprawiro, 2007).
Tanda-tanda penderita DM yaitu terdapatnya glukosa pada urin dan tingginya
kadar glukosa dalam darah. Sedangkan gejala DM yang sering muncul adalah
polyuria, polifagia, polidipsi, berat badan turun, lemah, kesemutan, kaku otot,
penurunan kemampuan seksual, gangguan penglihatan yang sering berubah, sakit
sendi dan lain-lain (Tjokroprawiro, 2007). Tatalaksana terapi DM bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, menghilangkan keluhan dan tanda DM,
mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah,
mencegah dan menghambat komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler, turunnya
morbiditas dan mortalitas DM (Perkeni, 2011). Terapi farmakologi DM dapat
diberikan obat hipoglikemik oral (golongan sulfonylurea, biguanid,
alphaglucoside inhibitor) dan dapat dilakukan pemberian insulin (rapid acting
insulin, short acting insulin, intermediate acting insulin, long acting
insulin) Penggantian OHO menjadi insulin harus dilakukan pada pasien DM tipe 2
dalam keadaan: penurunan berat badan yang cepat, ketoasidosis diabetik, gagal
dengan kombinasi OHO dosis optimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi
besar, IMA, stroke), gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, dan
kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO (Perkeni, 2011). Sedangkan terapi
non farmakologinya dengan melakukan diet
(karbohidrat, lemak, protein) dan olahraga à berenang, jalan kaki, bersepeda à 3-4
kali/minggu durasi stengah jam.
SUMBER:
Gyssens, I.C., 2001. Quality measures of
antimicrobial drug use. International Journal of Antimicrobial Agents
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 2406/ Menkes/ Per/ XII/ 2011 tentang Pedoman Umum
Penggunaan Antibiotik. Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
Luftiyya, M., N., Henley, Eric., Chang,
Linda, F., Reyburn, Stephanie W. 2006. Diagnosis and Treatment of Comunnity
Acquired Pneumonia Am Fam Physician. Illinois.
Perkeni, 2011, Petunjuk Praktis Terapi Insulin, Tim
Konsensus Insulin, Jakarta
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.
Sudoyo, Setiyohadi, et. al., 2007, Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Cetakan Ke-2, Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Tjokoprawiro A, Hendromartono, Sutjahjo A, Pranoto A, Murtiwi S, Adi S,
Wibisono S., 2007 Diabetes Mellitus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya :
Airlangga University Press
Tierney, L. M., S. J. McPhee dan M.A.
Papadakis, 2002, Diagnosa dan Terapi (Penyakit Dalam), Salemba Medika, Jakarta.
Comments
Post a Comment