Klasifikasi Epilepsi dan Tatalaksana Epilepsi

EPILEPSI
Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan yang berulang-ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel otak (Gofir dan Wibowo, 2006). Kejang disebabkan oleh banyak faktor. Faktor tersebut meliputi penyakit serebrovaskuler (stroke iskemik atau stroke hemoragi), gangguan neurodegeneratif, tumor, trauma kepala, gangguan metabolik, dan infeksi SSP (sistem saraf pusat). Beberapa faktor lainnya adalah gangguan tidur, stimulasi sensori atau emosi (stres) akan memicu terjadinya kejang. Perubahan hormon, sepeti menstruasi, puberitas, atau kehamilan dapat meningkatkan frekuensi terjadinya kejang. Penggunaan obat-obat yang menginduksi terjadinya kejang seperti teofilin, fenotiazin dosis tinggi, antidepresan (terutama maprotilin atau bupropion), dan kebiasaan minum alkohol dapat meningkatkan resiko kejang. Menurut Gidal dkk (2005) klasifikasi epilepsi berdasarkan tanda-tanda klinik dan data EEG, dibagi menjadi:
1.   Kejang umum: a) Absenceàterjadi pada masa anak-anak/awal remajaàKesadaran hilang beberapa detikàterhentinya percakapan untuk sesaat, Penderita tiba-tiba melotot atau matanya berkedip-kedip dengan kepala terkulai. b) Tonik-klonikàPasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, dan keluar air liur, menggigit lidahà beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala atau tidur. c) Mioklonikàterjadi pada pagi hariàmengalami sentakan yang tiba-tiba. d) Atonikàjarang terjadiàkehilangan kekuatan ototà terjatuhàsegera pulih.
2.   Kejang parsial: a) Simple partial seizureàtidak hilang kesadaranàsentakan pada bagian tertentu tubuh. b) Complex partial seizureàpenurunan kesadaranàperubahan tingkah laku.
3.   Kejang tak terklasifikasikanàtidak didukung oleh data yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan epilepsi pada neonatus misalnya gerakan mata ritmis, dan gerakan mengunyah serta berenang.
Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal akibat penghambatan neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara neurotransmiter eksitatori dan inhibitori. Pengobatan Epilepsi diantaranya bertujuan untuk membuat penderita terbebas dari serangan, khususnya serangan kejang, sedini/seawal mungkin tanpa mengganggu fungsi normal saraf pusat dan penderita dapat melakukan tugas tanpa bantuan. Adapun tujuan dari terapi yaitu untuk mengontrol atau mengurangi frekuensi kejang, memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan dan meningkatkan kualitas hidup pasien, serta sasaran terapinya yaitu menyeimbangkan kembali neurotransmitter GABA di otak (Hendra Utama 2007). Terapi farmakologi: a) fenitoinàkejang umum, tonik-klonikàmenurunkan aliran ion Na tersisaàPO 3-4mg/kg/hari (dewasa), IV ≤50mg/menit. b) barbiturate (fenobarbital)àparsial, tonik-klonikàmenurunkan konduktan Na dan K à dosis awal 1-3mg/kg/hari, pemeliharaan 10-20mg/kg/hari. c) doksibarbiturat (primidone)àparsial dan tonik-klonikàmenghambat kanal Na+àdosis anak <6 tahun 10-20mg/kg 3xsehari, 6-12 tahun 200mg 2x1 (pemeliharaan 400-800mg), >12 tahun 400mg 2x1. d) benzodiazepine à 4-40mg/hari (dewasa). e) asam valproate à parsial, absence, mioklonikàmeningkatkan GABAà10-15mg/kg/hari. sedangkan terapi non farmakologinya dapat dilakukan pembedahan, diet tinggi lemak, cukup protein dan rendah karbohidrat serta stimulasi nerves vagus. Apabila terapi farmakologi obat tertentu tidak memberikan efek yang baik maka dapat dilakukan switching OAE dengan cara tetap memberikan OAE awal dengan dilakukannya penurunan dosis dan diberikan OAE baru (Gofir 2001).
dalam penggunaan obat epilepsi seperti fenitoin dapat menyebabkan terjadinya pembengkakan pada gusi (hyperplasia gingivalis), dari hasil analisis bahwa fenitoin dapat menstimulasi proliferasi fibroblast dan epitel. Fibroblast tersebut akan menginduksi peningkatan sintesis glikosaminoglikan sulfat in vitro sehingga menyebabkan terjadinya pembesaran gusi. Tatalaksana terapi hyperplasia gingivalis yaitu pertama dilakukannya pengujian periodontal dan dilanjutkan dengan glivektomi. Glivektomi merupakan pemotongan jaringan gingival dengan membuang dinding lateral poket yang bertujuan untuk menghilangkan poket dan peradangan gingival, sehingga didapat gingiva yang fisiologis, fungsional dan estetik baik. Hyperplasia gingival dapat dicegah dengan menjaga kebersihan oral, serta pemberhentian obat-obat sejenis (fenitoin) (Kocaelli 2009). 

SUMBER:
Gidal, B.E., Garnet, W.R., Graves, N., 2005, Epilepsy dalam Dipiro, T.J. Talbert, L.R., Yee, L.G., Matzke, R.G., Wells, G.B., Posey, M.L., Pharmacotherapy Pathophysiologic Approach, 1031-1056, The Mae Grawhill Companies, USA.
Hendra Utama dan Vincent. 2007. Antieplipsi dan Antikonvulsi. In : Farmakologi dan Terapi. Ed: ke-5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Jakarta.
Kocaelli, H., Keklikoglu, N., 2009, Inducible nitric oxide synthetase immunoreactivity in dentrure induced fibrous inflammatory hyperplasia and healthy oral mucosa : An imunohistochemical study, Jo Biotechnol and Biotechnol,23:3.
Wibowo, S., dan Gofir, A., 2001, Farmakoterapi dalam Neurologi, Salemba Medika, Jakarta

Wibowo, S., dan Gofir, A., 2006, Obat Antiepilepsi, 7-127, Pustaka Cendekia Press, Yogyakarta

Comments

Popular posts from this blog

MONOGRAFI LEVOFLOXACIN

MONOGRAFI AMOXICILIN

MONOGRAFI TETRASIKLIN