Peptic Ulcer dan Osteoarthritis


Peptic Ulcer dan Osteoarthritis
        Ulkus peptikum (peptic ulcer disease) adalah lesi pada lambung atau duodenum yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor agresif (sekresi asam lambung, pepsin, dan infeksi bakteri Helicobacter pylori) dengan faktor pelindung mukosa (produksi prostagladin, gastric mucus, bikarbonat, dan aliran darah mukosa) (Berardi & Lynda,2005). Prevalensi ulkus peptikum di Indonesia pada beberapa penelitian ditemukan antara 6-15% terutama pada usia 20-50 tahun (Suyono,2001). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (BPPK) Depkes (2008) menyatakan bahwa pada tahun 2005-2008, ulkus peptikum di Indonesia menempati urutan ke-10 dalam kategori penyebab kematian pada kelompok umur 45-54 tahun pada laki-laki (2,7%). Etiologi ulkus peptikum yaitu terjadinya peradangan kronis karena bakteri helicobacter pylori yang berkolonisasi pada antral mukosa, penggunaan NSAID non selektif yang menghambat COX-1 dan COX-2, Stress dan makanan dapat memicu pelepasan asetilkolin, gastrin dan histamine yang akan berikatan dengan resptornya, sehingga dapat mengaktifkan pompa H+/K+ ATPase dan akan mensekresikan Asam (H+) ke lumen lambung, kemudian H+ akan berikatan dengan Cl- sehingga membentuk asam lambung (HCl) (Joseph, 2008).
        Patofisiologi ulkus peptikum dapat terjadi karena faktor internal seperti sekresi asam dan pepsin yang berlebih oleh mukosa lambung atau berkurangnya kemampuan sawar mukosa gastroduodenalis untuk berlindung dari sifat pencernaan dari kompleks asam pepsin, sedangkan faktor eksternalnya disebabkan oleh infeksi bakteri H pylori dan penggunaan NSAID (Guyton and hall,2007). Manifestasi klinis pada penderita peptic ulcer adalah ditemukannya gejala-gejala seperti nyeri ulu hati, mual muntah, kembung, kurang nafsu makan, rasa terbakar pada dada dan konstipasi, juga ditemukannya tanda-tanda seperti BAB berwarna hitam kecoklatan dan berat badan turun (Alkil,2006). Terapi untuk penyakit peptik ulkus sangat bervariasi tergantung pada etiologinya (H.pylori/NSAID), Seluruh terapi bertujuan untuk mengurangi nyeri akibat ulkus, mengobati ulkus, mencegah kekambuhan dan menurunkan risiko komplikasi akibat peptik ulkus. Untuk mengatasi ulkus peptikum dapat dilakukan terapi non farmakologi seperti diet, istirahat, tidak merokok, tidak mengkonsumsi alcohol, kopi, air jeruk (minuman olahan), dan apabila memungkinkan menggantikan penggunaan NSAID non selektif dengan analgesic yang cenderung lebih aman untuk lambung seperti paracetamol atau analgesic penghambat selektif enzim COX-2 (Joseph, 2008). Sedangkan terapi farmakologi dapat dilakukan dengan mempertimbangkan penyebab terjadinya ulkus peptikum. Pasien peptik ulkus akibat penggunaan NSAID harus diperiksa status paparan bakteri H. pylori terlebih dahulu. Jika pasien memiliki status H.  pylori positif maka terapi harus dimulai dengan tripel regimen. Jika status pasien adalah H. pylori negatif maka terapi peptik ulkus dimulai dengan pemberian PPI atau H2RA atau sukralfat. Jika penggunaan NSAID tidak dapat dihentikan maka terapi harus diawali dengan pemberian PPI secara monoterapi untuk pasien dengan status H. pylori negatif atau tripel regimen untuk pasien dengan status H. pylori positif. Terapi profilaksis dengan PPI, misoprostol atau penggantian terapi NSAID dengan penghambat selektif enzim COX-2 sangat direkomendasikan pada pasien yang memiliki faktor risiko tinggi terkena komplikasi akibat penyakit peptik ulkus (Joseph, 2010).
        Contoh golongan obat untuk ulkus peptikum yaitu antagonis reseptor H2 yang mekanisme kerjanya memblokir tempat ikatan antara histamine dan reseptor yang digantikan oleh obat ini sehingga asam tidak akan dihasilkan, sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal, kehamilan, dan pasien menyusui. Golongan PPI mekanismenya memblokir kerja enzim KH ATPase yang akan memecah KH ATP yang akan menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam dari kanalikuli serta parietal ke dalam lumen lambung. Ibu hamil dan menyusui sebaiknya menghindari penggunaan PPI (Lacy 2008). Golongan sulkralfat mekanimenya menghambat hidrolisis protein mukosa oleh pepsin. Pemberian sukralfat pada pasien diabetes bisa menyebabkan hiperglikemia (peningkatan kadar gula darah) (Parischa,2008). Adapun golongan lain seperti koloid bismuth, analog prostaglandin dan antasida. Apabila semua terapi pengobatan tersebut gagal terhadap pasien sehingga mengakibatkan komplikasi perforasi dan perdarahan maka tindakan medis yang harus dilakukan adalah melalui operasi pembedahan (Alkil,2006).
        Osteoartritis (AO) adalah gangguan sendi yang bersifat kronis disertai kerusakan tulang dan sendi berupa disentegrasi dan pelunakan progresif yang diikuti dengan pertambahan pertumbuhan pada tepi tulang dan tulang rawan sendi yang disebut osteofit, dan fibrosis dan kapsul sendi. Berdasarkan data riset kesehatan dasar tahun 2013 hasil dari wawancara pada usia ≥15 tahun rata-rata prevalensi penyakit sendi sebesar 24,7%. Provinsi NTT tertinggi yaitu 33,1%, Jawa Timur 27% dan yang terendah berada di provinsi Riau sebesar 9%. Gejala OA lutut dan tangan pada perempuan dan laki-laki secara berturut-turut yaitu 18%:10% dan 9.2%:3.8% (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2013). Berdasarkan etiopatogenesisnya OA dibagi menjadi dua yaitu OA primer dan OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yang mana penyebabnya tidak diketahui dan tidak ada hubunganya dengan penyakit sistemik, inflamasi ataupun perubahan lokal pada sendi, sedangkan OA sekunder merupakan OA yang ditengarai oleh faktor-faktor seperti penggunaan sendi yang berlebihan dalam aktifitas kerja, olahraga berat, adanya cedera sebelumnya, penyakit sistemik, inflamasi. OA primer lebih banyak ditemukan daripada OA sekunder (Davey, 2006).
        Patofisiologi OA yaitu terjadi dikarenakan sobek dan ausnya permukaan kartilago, kartilago tidak mendapatkan nutrisi dan cairan yang dibutuhkan (jumlah sedikit) sehingga mengering dan retak, menyebabkan terjadinya kontak antara tulang dengan tulang, nyeri timbul akibat aktivasi dari nosiseptif ujung-ujung saraf didalam sendi oleh iritan mekanis/kimiawi. Manifestasi klinis penderita OA ditandai dengan nyeri, kekakuan sendi, krepitasi, pembengkakan pada tulang dan deformitas sendi (Davey, 2006). Untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan terapi yang bertujuan menghilangkan rasa nyeri dan kekakuan, menjaga/meningkatkan mobilitas sendi, membatasi kerusakan fungsi dan mengurangi faktor penyebab. Tatalaksana terapi OA dapat dilakukan dengan terapi non farmakologi yaitu memberikan edukasi pada pasien, terapi fisik, istirahat, menurunkan berat badan, akupuntur, cognitive behavioural therapy, hypnosis dan teknik relaksasi. Sedangkan terapi farmakologinya harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti intensitas rasa sakit, efek samping yang potensial dari obat dan penyakit penyerta. Obat-obat yang dapat diberikan untuk terapi OA seperti paracetamol yang dapat digunakan apabila penderita tidak bisa menggunakan NSAID dikarenakan efek sampingnya atau mereka yang sedang menggunakan obat lain seperti warfarin. Adapun obat lain untuk terapi OA seperti glucosamine dan chondroitin, kortikosteroid (tidak diberikan oral) dan asam hyaluronidase yang disuntikkan disendi (Davey, 2006).

SUMBER:
Akil, H.A.M., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: FKUI
Berardy, R., & Lynda, S., 2005, Peptic Ulcer Disease, dalam Dipiro, J.T. et al., Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach, Sixth Edition, 629–648, McGraw-Hill, Medical Publishing Division by The McGraw-Hill Companies.
Davey Patrick. 2006. At a Glance Medicine. Alih bahasa: Anissa Racmalia. Jakarta: Erlangga
Departemen Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Guyton A.C.  and J.E.  Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.  Edisi 9.  Jakarta: EGC. 74,76, 80-81, 244, 248, 606,636,1070,1340.
Joseph DiPiro, Robert L.Talbert, Gary Yee, Gary Matzke, Barbara Wells, L.Michael Posey et al. Pharmacotherapy: A Phatophysiology Approach. 7th ed. Columbus: McGraw-Hill Company; 2008.
Lacy, C. F., Lora, L. A., Morton, P. G. & Leonard, L. L., 2010. Drug Information Handbook 19th Edition. 876–1432. Ohio: Lexi Comp.
Pasricha, P.J dan Hoogerwetf, W.A. 2008. Obat-Obat Pengendali Keasaman LambungSerta Pengobatan Ulser Peptik dan Penyakit Refluks Gastro Esofagus. Goodmandan Gilman (Editor) dalam Dasar Farmakologi Terapi. Volume I. Jakarta: EGC.
Slamet Suyono. 2001. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II. FKUI, Jakarta: Balai Pustaka. h 253, 454-9, 463-4.







Comments

Popular posts from this blog

MONOGRAFI LEVOFLOXACIN

MONOGRAFI AMOXICILIN

MONOGRAFI TETRASIKLIN